Ramayana Episode 1

Maha Bharata Episode 2

Membedah Mahabharata

ITIHASA DALAM STRUKTUR VEDA DAN STRATEGI
METODOLOGI PENGAJARAN VEDA1)
Oleh : I Ketut Donder2)




I. Itihasa adalah Sejarah bukan Cerita Fiktif
Itihasa secara etimilogi artinya sejarah, yaitu dari kata iti + ha + asa, iti = ’begini’ atau ’demikianlah’, ha = ’tentu’ atau ’pasti’, dan àsa = ’sudah terjadi’ atau ’adanya’. Jadi kata-kata ”begini tentu sudah terjadi” atau dalam formulasi lain ’demikianlah adanya’ atau ’demikianlah yang terjadi’, dengan jelas kalimat itu menunjukkan bahwa cerita dalam Itihasa adalah ’kisah’ atau ’fakta’ bukan ”fiktif”. Itihasa sebagai fakta atau kisah merupakan sejarah, inilah catatan terpenting yang perlu ditekankan dalam membaca Itihasa. Kebenaran Itihasa sebagai kisah atau sejarah pada dasarnya secara sadar dan tidak diakui oleh berbagai kalangan. Sebagai contoh seorang pencipta lagu menuangkan pengakuannya ini dalam satu syair lagu Indonesia di tahun 1970-an, yang berbunyi: ”kisah Mahabharat atau tragedi dari Yunani” . Hanya, sayangnya, karena perjalanan sang waktu ketika Itihasa melintasi bentangan benua dan samudera yang luas serta bentang sejarah waktu yang luas, banyak orang (termasuk intelektual Hindu) memandang Itihasa hanya sebuah deskripsi dogeng. Ini merupakan sikap dan perilaku yang unik dalam sistem keber-agama-an kita yang patut dipertanyakan dan dikaji.
Pandangan atau paham para intelektual Hindu yang menempatkan Itihasa sebagai dongeng secara langsung dan tidak langsung sesungguhnya telah merendahkan Veda, sebab Itihasa merupakan bagian integral dari Veda. Para intelektual Hindu Indonesia (Bali) yang menyatakan bahwa Itihasa sebuah dongeng, Arjuna sesungguhnya bukan orang India, tetapi Arjuna itu adalah orang Jawa karena itu di India tidak ada Gunung Arjuna, Gunung Arjuna hanya ada di Jawa Timur. Ada juga yang menyatakan bahwa Veda yang asli dan pertama kali diwahyukan di Bali. Hal merupakan ujian atas kebenaran sejarah kitab suci. Bersamaan pengakuan apologis bahwa Itihasa sebuah dongeng, Arjuna orang Jawa, saat ini juga sedang beredar buku yang dikarang oleh orang Barat bahwa ”asal mula umat manusia dan peradaban manusia adalah Nusantara”, demikian juga Bahasa Sanskerta yang merupakan bahasa tertua di dunia dinyatakan sebagai bahasa yang berasal dari Nusantara. Teori yang digunakan adalah teori Kutub Es mencair. Terlepas dari adanya anggapan Itihasa sebagai dongeng, Arjuna orang Jawa, Sanskerta berasal dari Nusantara, semua anggapan yang probabilistik itu perlu diteliti melalui prosedur epistemologi pengetahuan ilmiah yang benar. Itulah tantangan dari bedah buku ini, dan buku ini telah memberikan bukti-bukti dan metodologi komprehensif.
Sebagian umat Hindu memang sudah mengetahui, memahami, dan menghayati kemuliaan teks Itihasa sebagai bagian dari teks kitab suci yang perlu diproteksi dari pemikiran-pemikiran liar yang merendahkan nilai teks suci tersebut. Catatan ini penting sekali bagi kita umat Hindu. Karena dewasa ini teks Itihasa oleh masyarakat Nusantara lebih dipahami sebagai dongeng fiktif yang tidak tersangkut dengan peristiwa sejarah. Karena itu masyarakat Nusantara merasa bebas untuk membubuhi cerita-cerita dalam Itihasa untuk menambah bahan tertawaan ketika pentas atau pertunjukkan seni. Untuk memiliki bahan perbandingan kita juga perlu membaca buku-buku agama lainnya. Karena dalam agama lain banyak dongeng yang ada di dalamnya malah dianggap sebagai kisah nyata yang perlu dibela mati-matian oleh para intelektual agamanya dan oleh para penganutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu belajar banyak.

II. Kedudukan Itihasa dalam Sarasamuscaya
Secara khusus umat Hindu di Nusantara yang mengakui dan membanggakan kreativitas kearifan lokal, sangat penting membaca kitab Sarasamuscaya untuk mengetahui bagaimana kedudukan Itihasa dalam sistem pengetahuan Veda. Dalam beberapa sloka kitab Sarasamuscaya dengan tegas myatakan: ”
Kunëng kottaman Sang Hyang Bhàratakathà, ri denyan sira nitya pinakopajìwanà sang kawiwara, kadyanggansang prabhu sujanmàn pinakopajì-wananing wadwa angusir wibhawa. (Sarasamuscaya III)
Adapun keutamaan cerita-cerita Mahàbhàrata yang senantiasa menjadi sumber kehidupan para pujangga-pujangga utama adalah seperti misal seorang raja yang berbudi luhur, yang merupakan sumber perlindungan rakyat yang mengusahakan hidup sejahtera.
Apayàpan iking aji bhakrataathà, sakaning buddhi sang kawi, kadyangganing triloka an wijil sangkë pañcamahàbhùta. (Sarasamuscaya IV)
Adapun pustaka Mahàbhàrata ini lahir dari budi luhur sang pujangga, sebagai halnya dunia-tiga, yang terjadi dari lima unsur utama (hawa, angin, api, air dan tanah).

Tàtan hana aji ring bhuwana, tan pakàcraya iking byàsa wacana, kadyangganing ûarira tan hana, ya tan pakaûrayangàhàra (Sarasamuscaya V)
Tidak akan ada sastra di dunia, jika tidak ada bantuan dari ajaran Bhagawàn Byàsa, seperti halnya tubuh manusia tidak akan ada, jika tidak ada bantuan makanan.

Lawan waneh kottamanira, yan hana sira telas rumëngö rasaniking sang hyang aji, pisaningu juga sira ahyuna rumëngwa kathantara, tëka ring gita wenu wìóàdi, kadyangganing wwang rumëngö suûsabdaning kuwong, huwus rumësëp ri hati langëning swaranya, amangun harsaning citta, tan hana gantàni kahyuna rumëngwa rësning ûabdaning gagak (Sarasamuscaya VI).
Dan ada lagi keutamaannya yang lain: jika seseorang telah mendengarkan kesedapan rasa puitis sastra suci itu, sekali-kali ia tidak akan berkemauan untuk mendengarkan cerita-cerita lain, termasuk nyanyian-nyanyian rebab, seruling dan lain-lain semacam itu, sebagai misalnya orang yang sudah pernah mendengarkan keindahan suara burung kutilang, yang telah meresap ke dalam hatinya keindahan suara burung itu dan dapat membangkitkan kesenangan hatinya, tidak ada kemungkinannya ia akan berkemauan untuk mendengarkan kengerian suara burung gagak;

Mangkana ling Bhagawàn Wararucin panamaskara ring Bhagawàn Byàsa, nëhër umajarakën kottamaniking Bhàratakathà, iking inaranan Sàrasamuccaya, sara ngaraning wisesa, samuccaya papupulnya, nahan matangnyan Sàrasamuccaya ngaraniking sang Hyang Aji, damël Bhagawàn Wararuci, nihan piteket Bhagawàn Waiûampàyana ing Mahàràja Janamejaya, i këlanira sumaritaken ikang Bhàratakathà, yatiki witaning Sàrasamuccaya.
Demikianlah kata Bhagawàn Wararuci menghormati Bhagawàn Byàsa, serta lanjut mengutarakan keutamaan cerita mahàbhàrata yang dinamai Sàrasamuccaya; sara, artinya inti sari; samuccaya himpunan; demikianlah sebabnya maka sàrasamuccaya disebut sastra suci, karya Bhagawàn Wararuci; inilah yang dipergunakan pituah oleh Bhagawàn Waiûampàyana kepada Mahàràja Janamejaya pada waktu beliau menceritakan Mahàbhàrata. Inilah asal mula sàrasamuccaya.
Ndàn Sang Hyang Weda, paripùrnakena sira, makasàdhana sang hyang itihàsa, sang hyang puràna, apan atakut, sang hyang weda ring akëdik ajinya, ling nira, kamung hyang, haywa tiki umarà ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut (39)
Weda itu hendaklah dipelajari dengan sempurna dengan jalan mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya “wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang kepadaku”, demikian konon sabdanya, karena takut.
Kunang këngëtakena, sàsing kajar de sang hyang ûruti’ dharma ngaranika, sakàjar de sang hyang smrti kuneng’ dharma ta ngaranika, cistàcàra kunang, àcàranika sang ûiûta, dhrmata ngaranika, ûiûta ngaran sang hyang satyawàdì, sang àpta, sang patirthan, sang panadahan upadeûa sangksëpa ika katiga, dharma ngaranira. (40)
Maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Cruti, disebut dharma; semua yang diajarkan Smrti, pun dharma pula namanya itu; demikian pula tingkah laku sang cista, disebut juga dharma; cista artinya orang yang berkata jujur yang setia pada kata-katanya, orang yang dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat pensucian diri, orang yang memberikan ajaran-ajaran atau nasihat-nasihat; singkatnya ketiga-tiganya itu disebut dharma.
Catatan: 1. dharma ajaran cruti (Weda) biasa disebut “sanatana dharma” dharma yang kekal abadi, menjadi dasar agama bangsa Aria, yang sekarang terkenal dengan nama : Hindu Dharma. 2. Dharma dari Smrti (dharmasastra) yang mengatur kewajiban bangsa Aria, baik dalam bidang nasional, sosial, kekeluargaan, maupun kewajiban orang seorang. Dharmasastra adalah buatan orang, disesuaikan dengan keadaan dari jaman ke jaman : untuk satyayuga dibuat oleh Manu, untuk tritayuga oleh Yajnawalkya, untuk dvaparayuga oleh : Sankha dan Likhita, untuk kaliyuga oleh Parasara 3. Dharma Citacara: kelakuan atau perilaku, praktek (orang) arif, tulus hati dan suci; kesimpulannya : paham dharma, adalah luas.

III. Efek Penyebaran Itihasa dalam Tradisi Seni dan Pertunjukkan
Efik Ramayana dan Mahabharata sebagai kisah yang membangun Itihasa tidak saja terkenal di India, Sri Langka, dan Indonesia, bahkan di Arab. Dinasti raja-raja Arab yang bergelar Ramzes diduga merupakan penyebarluasan dinasti Rama di India. Bahkan dalam suatu pahatan Prasasti batu dalam bentuk relif Rama Shinta ditemukan di Arab. Di Indonesia terutama di Jawa dan Bali, kisah Ramayana dan Mahabharata amat sangat terkenal. Di Jawa wayang kulit semalam suntuk digemari oleh segala lapisan masyarakat baik para petani buta huruf hingga para dosen dan khiayi. Kisah Ramayana dan Mahabharata telah menjadi nafas kehidupan masyarakat Jawa. Hanya sayang sekali ceritanya banyak yang telah dicampur aduk dengan fiksi. Pada suatu malah dalang yang mengisahkan pertemuan antara Sri Arjuna dan Sunan Kali Jaga, lucu memang dan pantas ditertawai. Karena Arjuna hadir didunia sebelum Parikesit dinobatkan pada tahun 3018 SM dan Sunan Kali Jaga hidup pada tahun 1447 M detik-detik Majapahit runtuh, bisa bertemu, luar biasa sakti dalangnya. Hal-hal semacam inilah yang membuat citra sejarah dalam Itihasa semakin dikelabui alias dihapus.

IV. Kedudukan Itihasa dalam Struktur Pengetahuan Veda
Era globalisasi dan era demokrasi dewasa ini yang sedang dinikmati oleh umat manusia merupakan era kebebasan dan kemerdekaan berpikir. Seolah-olah setiap orang boleh berpikir dan berbuat apa saja di mana saja, batas-batas sakral dan propan semakin tidak jelas. Ngawuritas (alias asal ngomong) menjadi ciri dewasa ini. Berbagai istilah konyol muncul di tengah-tengah masyakarat intelektual, misalnya: kulkul saking kayu – gebug kukule sami ngiringan kahayun ’kentingan dari kayu – kentongan dipukul semua menyatukan pikiran’. Penjor = pring a lonjor ’bambu satu lonjor’, sate berasal dari kata Sanskerta sat yang artinya kebenaran, karena itu agama Hindu di Bali dilambangkan dengan lawar sate. Banten bahan untuk ngentenang ’banten adalah sarana untuk membangunkan kesadaran. Walaupun semua istilah tersebut tidak jelek, namun secara komprehensif semua istilah itu tidak dapat diacu sebagai struktur pengetahuan yang kebenaran.
Itihasa mempunyai kedudukan istimewa dalam struktur pengetahuan Veda, karena Itihasa dalam struktur Veda merupakan bagian dari Upanggaveda (Vedangga + Upaveda), sebagaimana dapat dilihat dalam Bagan Struktur Veda berikut. Yang dimaksud Vedangga adalah Sadvedangga sedangkan Upaveda adalah Itihasa. Karena itu buku Itihasa karya Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D., yang hendak mengembalikan Itihasa dalam porsi dan proporsinya yang benar dalam sistem pengetahuan Veda sangat patut dibaca oleh siapa saja termasuk oleh para tokoh umat Hindu yang telah menguasai publik. Buku ini memberi penjelasan yang meyakinkan bahwa Itihasa merupakan bagian dari Veda yang secara praktis metodologis menjadi alat atau sarana pengajaran Veda. Orang yang mau mengikuti petunjuk Itihasa maka sudah pasti akan secara otomatis melangkah ke jalan Veda. Karena kepraktisan dan kepragmatisannya itu, maka Itihasa mampu membimbing umat manusia melintasi pasang-surutnya zaman.
Kalimat syair dalam Ramayana yang berbunyi ”hana sira ratu dibya rengon, prasastra ring rat musuh ira pranata, Sang Dasarata namo tamuli. Kalimat lainnya: ”gunamanta Sang Dasarata, wruh sire ring Veda, bhakti ring Dewa, tar malupeng pitra puja, sih sira ring swagotra kabeh. Syair yang pertama merupakan salah satu sumber dharma, yaitu sila yang berarti perilaku orang bijak yang patut dijadikan semacam yurisprodensi dalam memutuskan suatu persoalan. Sebagaimana dinyatakan oleh kitab Dharmasastra bahwa sumber dharma adalah: sruti, smrti, sila, acara, dan atmanastusti. Syair yang kedua menjadi dasar konstruksi Pancasraddha Hindu (1) Widdhisraddha ’bakti ring dewa’, (2) Atmasraddha, (3) Karmaphala-sraddha ’sih sira ring swagotra kabeh’, (4) Samsara dan (5) Moksharaddha ’pitra puja’. Dan masih banyak sekali detil-detil ceritera dalam Itihasa ini yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia. Seandainya kita sepakat menyediakan waktu untuk membedah Itihasa ini sebagaimana kita mem-belah dan merecah seekor babi pada saat penampahan Galungan, maka kita akan mendapatkan segalanya dalam Itihasa. Dari hasil menampah Itihasa ini kita akan mampu membuat lawar Itihasa, urutan Itihasa, komoh Itihasa, krupuk Itihasa, brengkes polo Itihasa, rawoh Itihasa, dsb. Hanya sayangnya, kebanyakan dari kita hanya sangat serius ketika membelah dada celeng dan resah serta gelisah ketika kita membedah Itihasa.
Apa yang saya kutip merupakan seujung rambut yang dibelah satu juta dari keseluruhan isi Ramayana. Karena itu pendalaman yang benar terhadap Itihasa harus diupayakan. Buku karya Prof. Titib ini menuntun para pembaca untuk memperbaiki maind set dan anggapan umum masyarakat yang telah jauh melenceng dari keberadaan sejati Itihasa. Karena itu para guru, dosen, para intelektual, tokoh masyarakat sangat penting membaca buku Itihasa ini, kebetulan juga buku semacam ini yang berbahasa Indonesia juga belum ada. Inilah langkah berpikir komprehensif yang benar.
Untuk memahami segala sesuatu secara cepat, maka sketsa atau bagan sangat efektif untuk menuangkan suatu deskripsi yang panjang. Demikian pula untuk mengetahui kedudukan Itihasa dalam struktur pengetahuan Veda, maka kita menemukan beberapa bagan sruktur yang dibuat oleh beberapa orang, antara lain bagan yang dibuat oleh almarhum I Wayan Maswinara.
Dalam satu karya hasil terjemahan dari Narayana Upanisad yang diterjemahkan oleh almarhum Mas Winara terdapat lampiran Bagan Struktur Veda. Sebagai upaya ilmiah untuk menuangkan pikiran bagan tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Walaupun sesuai dengan perkembangan pemahaman bagan itu boleh dan dapat dikoreksi. Sebab ada beberapa kelemahan dari struktur tersebut, yaitu: meng-golongkan semua kitab selain Catur Veda sebagai Smrti. Karena itu bagan tersebut dapat dikonfirmasi dengan bagan yang dikonstruk oleh I Ketut Donder (1996, 2007).
V. Membedah Itihasa untuk Memperbaiki Pemahaman Umum
Tugas para intelektual Hindu mulai saat ini dan pada masa mendatang cukup berat. Karena persoalan yang mencoba menggoyahkan sistem pengetahuan Hindu tidak saja datang dari luar Hindu, tetapi dari dalam juga semakin banyak persoalan yang sampai saat ini belum ada upaya kelompok atau perorangan yang mencarikan solusinya. Ada pihak merasa sebagai agama paling besar, merasa agama paling sempurna, semua itu kita dengar dari luar, di pihak lain ada juga bahasa yang mirip, kita mendengar bahwa agama Bali sebagai agama paling besar, paling umum, paling tua. Semua itu merupakan tantangan luar-dalam dari generasi masa datang.
Kelemahan berargumentasi secara epistemologis kerap umat Hindu tidak mau berpolemik untuk menjawab pelecehan agama dari pihak lain. Para intelektual Hindu mutlak untuk mengasah keberanian intelektual melalui pendekatan ilmiah epistemologis. Para intelektual harus mau dan mampu menjadi pendekar intelektual dalam mengahadapi arogansi intelektual dari pihak manapun. Kadang-kadang arogansi dan hegemoni pihak lain muncul karena diketahui bahwa kalangan yang dilecehkan tidak akan memberi tanggapan terhadap upaya pelecehannya. Sebagai salah satu contoh : siapa yang tidak kenal dengan tokoh filosof Indonesia asal Jerman yaitu Prof. Franz Magnis Suseno. Pada suatu acara The Abrahamistic Religions Dialogue ’Dialog Agama-Agam Ibrahim’ pada tanggal 19 Februari 2009 di Yogyakarta. Prof. Franz mengatakan bahwa umat Yahudi, Katolik, Kristen, dan Islam sebagai agama Smistis harus meningkatkan rasa persaudaraan karena memang bersaudara. Lanjut Franz menyatakan, sesungguhnya kita juga bersaudara dengan umat lain seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, asal jangan kita disuruh percaya bahwa Hanoman itu Tuhan”. Mendengar celotehan orang Katolik nomor satu di Indonesia itu, saya selaku peserta yang diutus oleh Rektor IHDN dan Dekan Fakultas Brahma Widya IHDN menghadiri acara tersebut, maka spontan tergugah hati untuk menanggapi dialog mereka. Saya awali perkenalan dengan mengatakan bahwa nama saya I Ketut Donder cucu Hanoman, spontan sang intelektual itu tertunduk. Selanjutnya saya mengkoreksi konsep pengklaisifikasian agama atas agama langit dan agama bumi. Seraya saya mencela klasifikasi agama langit dan agama bumi tersebut sebagai klasifikasi tidak cerdas, tidak elok, dan puncak kebodohan teologis. Pada waktu itu hadir para ahli teologi, ahli agama, tokoh agama, mahasiswa asing, dsb. Saya bangga karena para peserta tidak berani menggugat celaan ketidak cerdasan para intelektual agama. Kita harus berani mengkoreksi pandangan umum yang keliru, menyimpang atau salah, koreksi kita mutlak menggunakan motode yang dibenarkan oleh sistem pengetahuan walau nasib akhirnya persis seperti nasib Komjen Susno Duaji. Walaupun demikian, ”lebih mulia dipenjara karena kebenaran daripada dipenjara karena kesalahan”. Keberanian semacam itu harus dipupuk sebagaimana nasihat Manawa Dharma Sastra:

Eko _ip vediv×m| y' VyvSyed( iÜjoÑam" - s ivDey" pro /moR naDanmuidto _yutW" --113--
eko ’pi vedavid dharmaý yaý vyavasyed dvijottamaá,
sa vijñeyaá paro dharmo nàjñànam udito ’yutaiá. (MDh. XII.113)

’Walaupun itu dinyatakan oleh seorang bràhmaóa yang ahli dalam Veda harus dianggap mempunyai kekuatan hukum dan bukan yang lain dinyatakan oleh jutaan orang-orang yang bodoh’.