Ramayana Episode 1

Maha Bharata Episode 2

Sakama Dharma dan Niskama Dharma Dalam Mahabarata

Pendahuluan

Dalam epos besar Mahabharata, dikisahkan dua kerajaan yang saling bermusuhan dalam perang di Kuruksetra namun masih bersaudara, yaitu Korawa dan Hastinapura. Epos ini tidak hanya termasyur di Asia tetapi di seluruh dunia. Apalagi sekarang dengan majunya di dalam bidang sistem komunikasi cerita gubahan Veda Vyasa ini semakin dikenal dan dekat di hati masyarakat. Bagi bangsa Indonesia yang lebih mengenalnya dengan nama Bharatayuddha telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Nama-nama tokoh, seperti Yudistira, Arjuna, Bhima, Drupadi, Krishna, Duryodana, Sakuni, Drona, Bhisma, dsb. tidak asing lagi di telinga kita. Banyak nama-nama orang menggunakan atau diambil dari tokoh-tokoh tersebut.

Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya senantiasa dijadikan pedoman dan pendorong dalam setiap aktivitasnya. Nilai-nilai tersebut telah masuk ke segala tataran hidup bermasyarakat baik disadari maupun tidak, kisah ini telah mampu memperkaya imajinasi dan kreativitas bangsa Indonesia dalam membina kebudayaannya. Nila-nilai luhur tersebut selalu relevan dengan zaman. Di tengah-tengah arus globalisasi yang semakin deras menerpa dunia, sementara eksistensi budaya lokal dirasakan semakin rentan dengan alineasi dan marginalisme bahkan destruksi, maka melihat kembali nilai-nilai luhur tersebut akan dapat memperkuat keyakinan kita bahwa arus globalisasi dengan segala eksesnya dapat di arahkan ke jalan yang sesuai dengan nilai-nilai Mahabharata.
Artikel ini mencoba secara sekilas memehami Mahabharata dari sudut ajaran sentral yang terkandung di dalamnya, yaitu dharma sebagai kewajiban dan hukum yang sangat diperlukan dalam menanta kehidupan. Masing-masing terlibat dalam kerja dimana dharma dijadikan pedoman yang kalau dilanggar akan dapat menjerumuskan manusia dari jalan spiritual.

Makna ‘Dharma’

Dalam khasanah kesusastraan Sansekerta kata ‘dharma’ digunakan dalam pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan landasan metafisika yang melandasi konsep yang dirujuk. Kata Sansekerta ‘dharma’ berasal dari akar kata ‘r’ dengan masing-masing ‘dhana’ dan ‘mak’ sebagai prefiks dan sufiks. “Dharma” juga berasal dari akar kata ‘dhr’ dengan ‘man’ sebagai sufiks. Dalam Mahabharata, kata ini digunakan dalam kedua pengertian tersebut. Pertama, ‘dharma’ adalah alat untuk mendapatkan dhana, yaitu nilai, baik material maupun spiritual. Yang kedua, ‘dharma’ berarti yang memelihara dan melindungi dari bahaya dan memberikan kebaikan. Dalam sebuah makna yang paling dalam ‘dharma’ adalah hukum eksistensi baik manusia dan non manusia, seperti makna rta dalam Rg Veda. Petunjuknya mendifiniskan dharma di dalam situasi manusia, untuk kesejahteraan material dan kebaikan spititual. Dharma mempunyai dua jalan, yaitu satu menganjurkan kerja yang mengarahkan tercapainya artha (kebaikan ekonomi) dan kama (kebaikan hedonistik).

Hal ini disebut sakamadharma, yaitu ketaatan terhadap dharma dengan keinginan mendapatkan artha dan kama. Dharma dengan artha dan kama disebut Trivarga dan dianjurkan bagi orang yang berumah tangga. Artha dimaknai sebagai kepemilikan, kekayaan, kecakapan, keluarga, kesehatan, kemasyuran, dan objek-objek kenikmatan. Kama adalah kenikmatan itu sendiri; ia adalah keinginan untuk kenikmatan. Untuk mencapai artha dan kama dengan sarana selain dianjurkan atau digariskan oleh dharma berati berbuat kesalahan, yaitu dosa. Untuk mendapatkannya dalam cara yang dianjurkan adalah kebaikan, yaitu dharma. Dharma dalam cara lain adalah niskama, yaitu kerja tanpa keinginan untuk kepentingan nafsu atau ego. Sakamadharma memberikan yang melaksanakannya punia untuk menikmatai kebahagiaan dunia maupun surga sesuai dengan punia yang telah ia lakukan. Niskama dharma membawa yang melaksanakannya pembebasan (moksa) dan memotong lingkaran kelahiran dan kamatian (Santi 227). Veda mengatakan bahwa kita akan melaksanakan yajna dan minum soma untuk menikmati surga; inilah praktek sakamadharma.

Dialog Vidura dengan Pandawa

Berkenaan dengan nilai relatif Catur Purusartha (dharma, artha, kama dan moksa), seperti diulas oleh Krishna Sivaraman (ed) (1995:127) ada sebuah dialog yang menarik yang perlu disimak dalam Santi parva , yaitu antara Vidura dengan Pandava. Yudhistira saudara tertua Pandava membuka dialog dengan mengatakan dharma, artha, kama menyangga kehidupan kita sehari-hari. Di antara tiga nilai ini yang mana lebih tinggi kedudukannya atas yang lainnya? Terhadap pertanyaan ini Vidura mengatakan bahwa belajar, meditasi (tapasya), kerendahan hati, kesederhanaan, keramahtamahan, kebenaran dan pengendalian diri merupakan elemen-elemen dharma. Dharma merupakan nilai tertinggi. Artha lebih rendah dari dharma. Kama lebih rendah kedudukannya dari keduanya. Kemudian Arjuna mengatakan bahwa artha adalah nilai utama karena ia adalah membantu kama, yaitu percarian kehidupan seperti bertani, berdagang, industri, dsb. Dengan artha seseorang dapat menikmati obejk-objek kesenangan di dunia ini, dapat melaksanakan anjuran dharma dalam cara yang lebih baik. Disamping itu motivasi untuk mendapatkan artha sangat besar pada diri manusia. Nakula dan Sahadewa mengatakan dharma dan artha harus berjalan bersama-sama.

Manusia harus memegang dharma dan menghasilkan artha tanpa melanggar dharma. Tak ubahnya bagaikana amrta bercampur dengan madu. Dengan dharma-artha seseorang harus pergi untuk menikmati kenikmatan hidup. Bhimasena mengatakan kama atau keinginan adalah kekuatan penggerak dalam kehidupan. Adalah karena keinginan ini untuk mendapatkan kebahagiann surgawi para rsi termotivasi dan terlibat dalam kwajiban-kewajiban religius, pengendalian diri, tapa, dsb. Adalah dengan keinginan ini para seniman, pedagang, bertani, dsb. terlibat dalam profesinya. Kama adalah esensi dalam bahkan dalam semua perilaku yang dianjurkan dan upaya-upaya kita untuk menghasilkan kekayaan, nama baik, dsb. Dharma dan artha tidak mempunyai nilai tanpa kehadiran kama. Yang terbaik adalah mencari Trivarga tersebut (dharma-artha-kama). Mencari hanya satu saja di antara ketiganya adalah sangat buruk, dua lebih baik. Jadi Bhimasena mendukung konsep sakamadharma, walalupun diambil secar bersama-sama, kama adalah yang terbaik dari ketiganya. Yang ingin dicari dari dialog ini adalah satu prinsip penggerak dalam kehidupan ini untuk semua jenis perilaku. Prinsip ini adalah kama, keinginan atau cinta kasih untuk kebahagiaan dan kenikmatan, tetapi pada saat yang sama ia tidak ingin melanggar atau merendahkan dharma.

Terakhir, Yudhistira bicara. Ia mengatakan bahwa moksa adalah nilai tertinggi. Seseorang harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya tanpa motif pribadi. Hal ini artinya mempraktekkan dharma dengan bersikap sama terhadap dosa atau kebenaran, kekayaan atau kemelaratan, kenikmatan atau penderitaan. Inilah disebut niskama dharma yang mampu memutus lingkaran kelahiran dan kematian, mengantarkan, menuju tercapainya yang absolut (moksa, brhamaprapti). Bhisma juga mengataan kepada mereka bahwa moksa adalah nilai tertingi (parama purusartha) (Santi 174-80). Dengan mengutip cerita kuno, ia mengatakan kepada mereka bahwa baik penderitaan maupun kenikmatan bersifat sementara, satu mengikuti lainnya dalam siklus kausal yang dikendalikan oleh keinginan (kama). Di antara keduanya--- kebahagiaan diperoleh dengan upaya dikendalikan oleh keinginan dan kebahagiaan diperoleh dengan meninggalkan keinginan --- yang terakhir lebih disukai karena ia membebaskan manusia dari siklus kebahagiaan dan penderitaan. Ajarannya adalah seseorang dapat mengikuti niskama dharma pada samnyasa (penolakan kenikmatan dunia) dan melaksanakan yoga, atau seseorang dapat mengambil niskama dharma pada seorang grhi (orang yang hidup berumah tangga) yang diterapkan oleh Vidura. Bagi yang lainnya, ini haruslah Trivarga, dharma-artha-kama. Ajaran Bhisma kepada Yudhistira mencakup keduanya.

Ajaran tertinggi Mahabharata adalah dharma dalam pengertian sakama dan niskama dharma. Ajaran ini mengajar Yudishtira bagaimana menjadi seorang penguasa ideal. Titik fundamental dalam ajaran ini adalah bahwa seorang raja diikat oleh hukum (dharma), dan perintah-perintahnya hanya aturan-aturan hukum. Dengan dharma, seorang penguasa harus mengusahakan kesejeahteraan rakyatnya, mengamankan kerajaannya dari serangan musuh, menjaga manusia agar tetap pada kewajibannya, memutuskan dengan hati-hati kebijakan perang atau damai, mengusakan bala tentara yang terlatih dan profesional, polisi dan intelegen. Semasih sesorang sebagai raja, ia harus megikuti jalan Trivarga yang diarahkan oleh dharma, bukan oleh kama seperti yang dikatakan oleh Bhimasena; seorang kepala rumah tangga ideal (Santi 69).

Kemudian Bhisma berbicara tentang sifat-sifat personal yang semestinya dimiliki oleh seorang raja, seperti mendapatkan kekayaan tanpa kekjaman, keberanian tanpa membual, dsb. dan sifat-sifat yang harus tidak dimiliki, seperti memperlihatkan derma kepada orang-orang rakus, mempercayaiorang berhati jahat, pemenuhan nafsu seksual yang salah, dsb. (Santi 70). Berpura-pura bersahabat dengan musuh kuat dan pada saat yang sama secara rahasia mempersiapkan perang pada saat yang tepat terhadap musuh Ini merupakan nasihat Bhisma yang berharga kepada Yudhistira sebagai tindakan dilandasi oleh dharma (Santi 140). Bhismeajuga memberikan nasihat bagaimana menolak kemarahan, kesetiaan kepada kebenaran, pembagian material dengan tepat, kerendahan hati, mempunyai anak dari isri sendiri, kesucian pikiran dan tindakan, non kekerasan, kesederhanaan, perhatian kepada yang lemah. Selama perang Krishna mengatakan kepada Arjuna bahwa non kekerasan (tidak melukai yang lain) merupakan dharma yang agung dan bahwa mengatakan kata bohong lebih disukai dari kekerasan. Pada tempat yang sama ia mengatakan bahwa tidak ada yang lebih besar dari kebenaraan (Karna 70). Dalam hal ini jawaban Krishna kepada Sanjaya, begitu menjelang perang pecah menarik disimak.

Sanjaya mencoba mencegah Yudhistira melakukan perang atas nama dharma, mengatakan bahwa orang yang melaksanakan dharma sebagai yang lebih tinggi dari kama dan artha adalah agung. Keinginan untuk memiliki artha mengikat seseorang sehingga menimbulkan penderitaan. Oleh karena itu, Yudhistira, pengikut taat dharma, lebih baik hidup sebagai pengemis daripada membunuh orang-orang seperti Drona, Asvatthama, Krpa, Salya, Vikarna, Duryodhana, Karna. Perang adalah dosa, keinginan atau nafsu adalah sebuah cacat pada roh yang taat terhadap ajaran agama. Perang tersebut tidak mempunyai hubungan dengan kebaikan atau kejahatan, tetapi kejahatan mungkin memenangkan kekayaan dengan perang sementara yang mengikuti kebaikan akan kalah. Mnegapa, Yudhistira berperang dan meninggalkan jalan dharma? Ia harus tidak diarahkan oleh penasihat-penasihat yang sakit. Meraka adalah penghalang di jalan moksa, dharma tertinggi.

Terhadap bujukan ini, Krishna menjawab bahwa tak seorangpun dapat mengingkari kewajibannya. Seseorang harus bertindak, dan bertindak menurut ajaran-ajaran, anjuran-anjuran dharma. Pengetahuan demi untuk pengetahuan saja sungguh kosong; ia harus menuntun tindakan. Seluruh alam semesta ada dalam keadaan bergerak, tidak ada yang diam. Yudhistira adalah seorang ksatriya dan mempunyai kewajiban-kewajiban yang telah digariskan. Bersama-sama dengan pembelajaran kitab suci dan pelaksanaan yajna ia lebih banyak terlibat dalam senjata perang. Seorang ksatriya yang gugur dalam perang akan meraih surga. Yudhistira, dipanggil oleh kewajibannya, ia akan berperang. Ia harus mendapatkan kembali kerajaanya. Karena moksa, ia akan mencapainya melalui niskama dharma dan pembelajaran kitab-kitab suci; dan oleh karena itu ia hidup dalam kesucian. Tak seorangpun yang menyalahkannya dari tindakan perang ini (Udyoga 27).

Kembali pulang, Sanjaya mengatakan kepada Dhrtarastra bahwa Yudhistira hanya menginginkan kerajaannya kembali yang telah Dhrtarastra berikan kepadaya (walaupun seluruh kerajaan Kuru secara syah menjadi miliknya). Untuk melepaskan diri dari tahapan hidup sesorang, yaitu menelantarkan kewajiban adalah sebuah kemunduran dari keberadaan seseorang. Arjuna didorong mengangkat senjata dalam perang oleh Krishna ketika ia secara mental putus asa atas akibat yang akan ditimbulkan oleh parang tersebut. Setelah perang Yudhistira mengingingnkan menyerahkan kerajaannya dan mengambil jalan hidup sebagai pertapa di hutan. Krishna dan yang liannya menasehatinya dalam kesedihannya sebagai raja. Krsihna bahkan mengatakan kepadanya bahwa ia, Yudhistira, Dharmaraja terlalu dikuasai oleh perasaan penderitaan, kesedihan. Hanya dengan memenuhi kewajiban dapat membuat tahapan hidup berikutnya menuju pembebasan.

Sampai realisasi moksadharma, manusia harus bertindak dan menikmati atau menderita akibat buah-buah perbuatannya. Kedermawanan, bhakti, pengetahuan Veda, kesabaran, non kekarasan, dsb. membantu kehidupan berkembang dalam dharma dan membantu menjaga penciptaan. Kerja menegasi kerja dan sehingga pada akhirnya manusia pergi ke luar kenikmatan dan penderitaan dan bersikap sama terhadap kedua kutub itu; dan hal ini mengantarkan menuju moksa. Bersikap sama terhadap dua kekuatan yang saling bertentangan, rwa bhineda menyelamatkan sang diri dari terjerumus ke kedua kutub tersebut. Manusia tidak akan bisa lepas dari kedua pengaruh kekuatan tersebut. Siapapun tidak bisa lepas dari pengaruh siang dan malam, sehat dan sakit, panas dan dingin, senang dan susuah, dsb.

Di saat kita sedang dilanda kesusahan jangan, misalnya buah hati meninggalkan untuk selama-lamanya hendaknya jangan terlarut dengan perasaan itu dan melupakan tujuan hidup yang tertinggi; sementara jika sedang mendapatkan kebahagiaan jangan sampai mabuk karena kebahagiaan tersebut. Ibarat gunung kokoh, tegak berdiri. Panas dan dingin, hujan badai, angin, siang dan malam menerpanya setiap saat, namun ia tetap tegak berdiri, tak tergoyahkan. Dengan kata lain tak terlekati oleh pengaruh kekuatan tersebut atau oleh hasil kerja yang sempat dilakukan. Motif dasar kerja haruslah sesuai dharma yang apabila dilanggar kerja (karma) yang dilakukan tidak akan mempermulia kejatidirian kita bahkan merongrong atau menjerumuskan ke jurang kehancuran. Nilai-nilai ini sudah dianjurkan sejak zaman dulu kala.

Demikianlah perang besar antara dua keluarga yang masih sedarah ini dilaksanakan berdasarkan dharma. Kewajiban ksatriya, seperti Yudhistira adalah melaksanakan perang untuk membela kebenaran. Niskama dharma adalah melaksanakan kewajiban dengan tidak didorong oleh motif-motif pribadi dan tentu tidak akan terikat oleh hasilnya. Sementara Sakama dharma dilaksanakan atas dorongan kama, kinginan. Niskama kama jika dilakukan dengan tekun dan intens akan mengantarkan sesorang menuju moksa, memutus lingkaran kelahiran dan kematian. Bagai seorang grhi, orang hidup berumah tangga, niskama dharma merupakan jalan yang cocok diikuti dalam rangka pendakian spirtual menuju moksa.

Oleh: Drs. IB. Putu Suamba, MA
Source : http://www.yowanadharmopadesa.org

Yoga Sutra Patanjali (1)

Yoga Sutra Patanjali (1)
(Pengantar)
Oleh : Anatta Gotama, Denpasar

Yoga Sutra yang disusun oleh Maharsi Patanjali ini adalah teks kiasik terbesar dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ditulis 2.500 tahun yang lalu; jadi kurang lebih sezaman dengan Buddha Gotama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak kurang dan abad ke-2 SM. Di dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau penyatuan universalnya pendek dan akurat menegaskan bagian-bagian esensial secara lengkap dan rinci. Mengingat kepadatan dan kepekatan kandungan makna filosofis spiritualnya, Yoga Sutra dianjurkan agar dijelaskan dan diterjemahkan oleh seorang guru Yoga melalui komentar-komentar. Praktik Yoga dipandang sebagai pelengkap dan dalam satu kesatuan pandang dengan filsafat Sankhya. Tujuan pokoknya adalah merealisasikan kebebasan jiwa dari kungkungan maya.

Yoga Sutra Patanjali (1)
(Pengantar)
Oleh : Anatta Gotama, Denpasar

Yoga Sutra yang disusun oleh Maharsi Patanjali ini adalah teks kiasik terbesar dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ditulis 2.500 tahun yang lalu; jadi kurang lebih sezaman dengan Buddha Gotama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak kurang dan abad ke-2 SM. Di dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau penyatuan universalnya pendek dan akurat menegaskan bagian-bagian esensial secara lengkap dan rinci. Mengingat kepadatan dan kepekatan kandungan makna filosofis spiritualnya, Yoga Sutra dianjurkan agar dijelaskan dan diterjemahkan oleh seorang guru Yoga melalui komentar-komentar. Praktik Yoga dipandang sebagai pelengkap dan dalam satu kesatuan pandang dengan filsafat Sankhya. Tujuan pokoknya adalah merealisasikan kebebasan jiwa dari kungkungan maya.

Kurangnya informasi tentang Yoga telah mengundang persepsi keliru yang tak sedikit di kalangan awam. Yoga sering dikacaukan dengan Tapa, bahkan dengan sesuatu yang berbau takhayul. Atau memandangnya dari sudut pandang kegaiban dan kanuragan saja. Itu jugalah alasan yang menggugah saya untuk menulis buku ini.

Berikut ini adalah paparan Sri Swami Sivananda-pendiri The Divine Life Society-tentang Yoga:

“Yoga bukanlah mengurung diri di dalam gua-gua, bukan pula berkelana di hutan-hutan lebat sekitar Pegunungan Himalaya. Ia juga bukan hanya memakan jenis makanan yang berupa sayur-mayur dari pegunungan. Brahman bukanlah pengecut yang lari dari hiruk-pikuknya komunitas dan pemukiman manusia. Praktikkan sajalah Yoga di rumah Anda sendiri. Manakala hasrat untuk mempraktikkannya muncul, ini berarti bahwa kebebasan telah berada dalam jangkauan Anda, oleh karenanya manfaatkan peluang ini sebaik-baiknya. Menjalani kehidupan sebagai seorang yogi, tidaklah mesti menelantarkan siapa pun juga atau mengabaikan kewajiban-kewajiban melekat Anda. Ia bermakna mengubah sikap hidup dan kebiasaan mengerja kan sesuatu yang sia-sia, menuju jalur yang secara pasti mengantarkan langsung kepada Tuhan. Ia dibarengi dengan perubahan perilaku dalam menjalani kehidupan serta metode-metodenya guna membebaskan diri Anda dan berbagai belenggu dan kemelekatan. Kebenaran dan pengabaian keakuan, sebenarnya merupakan masalah sikap batin.”

Sesuai sistematika dan teks aslinya, Kidung Kelepasan Patanjali ini pun disajikan dalam empat bagian (pada), masing-masing:

Samãdhi Pãda
Sãdhana Pãda
Vibhuti Pãda
Kaivalya Pãda

Samãdhi Pãda - Hakikat Penyatuan Agung
Pada yang tersusun dalam 51 suara ini memaparkan tentang landasan filosofis spiritual Yoga, hakikat dari penyatuan dan hakikat ketuhanan dalam Yoga. Kita juga akan menemukan paparan yang menyangkut intisari keimanan Hindu, yang juga berhampiran dengan Buddha, serta penerangan yang amat bersesuaian dengan upanishad-upanishad dan Veda Sruti. Dari bagian ini pula, bila kita cermati, kesinambungan antara Sankhya Darsana dan Vedanta terjembatani dengan shastragama-shastragama lain. Pada ini merupakan pembuka yang berisi pembekalan pada tahp persiapan, sebagai landasan, dan kerangka dasar seorang sadhaka, seorang penekun di jalan spiritual.

Samadhi Pada terutama menjelaskan beberapa jenis Samadhi sesuai dengan tersisa atau tidaknya objek di dalam Samadhi, yang dicapai bersama dengan terhentinya pusaran-pusaran pikiran. Kaivalya, yang merupakan isu sentral dari Yoga Sutra ini, hanya dicapai melalui Nirvikalpa atau Nirbija Samadhi. Walaupun demikian, jenis pencapaian lain tetap merupakan pencapaian tinggi yang merupakan penghampiran pra yang tertinggi. Pembekalan mendasar, seperti ketidak-melekatan (Vairagya) dan pembiasaan laku-spiritual (Abhyasa) juga diberikan, sebelum seorang sadhaka terjun dalam praktik kehidupan spiritual secara intens.

Sadhana Pada - Paparan Praktis Praktek Spiritual
Pada yang tersusun dan 55 sutra ini memberikan paparan praktis bagi seorang sadhaka. Di sini akan diperkenalkan Yama, Niyasa, Pranayama, dan Pratyahara, serta persiapan untuk memasuki tiga serangkai – Samyama-Dharana-Dhyana-Samadhi. Samyama akan dibahas pada Vibhuti Pada. Metode pembebasan psikologis dan spiritual yang terdiri dari delapan tahapan ini, juga dikenal dengan Ashtanga Yoga.

Di sini juga diingatkan akan bahaya dari siddhi bagi seorang sadhaka sejati. Secara keseluruhan prinsip-prinsip praktis dari Yoga akan dipaparkan secara lugas. Ketika mengikuti Sadhana Pada ini, kita seakan-akan sedikit “dipaksa” untuk memahami sistem Yoga praktis tertentu, terutama Hatha Yoga dan Laya Yoga atau Kundalini Yoga.

Vibhuti Pada - Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan
Di sini dipaparkan tuntunan praktis yang lebih tinggi, terutama mengenai tiga serangkai Sam yama, melalui kekuatan spiritual, kegaiban, hingga kesempurnaan Yoga bisa dicapai.

Bagi mereka yang memiliki naluri mistis yang kuat, bagian yang tersusun dan 56 sutra ini akan menjadi bagian yang paling menarik. Di sini juga disampaikan petingatan-peringatan untuk tidak melaksanakan Yoga hanya demi perolehan kekuatan dan kegaiban itu, apalagi terikat padanya. Karena dapat dengan mudah menjatuhkan sang penekun.

Kaivalya Pada - Menggapai Kebebasan Sejati
Di antara keempat pada, Kaivalya Pada inilah yang tersingkat. Paparannya padat, berfokus pada pencapaian Kaivalya dan tentang bagaimana seorang yogi yang telah mencapai status itu. Di sini Patanjali tak lupa menyelipkan tatanan etika-moral luhur dari seorang yogi sempurna - yang dalam ajaran Vedanta dikenal sebagai Jivanmukti, ia yang telah terbebaskan dari siklus Samsara dan tak terlahirkan kembali di alam mana pun - di antara 34 suara pembentuknya.

Jadi, secara keseluruhan, keempat pada benar-benar membentuk satu kesatuan integral, yang kait-mengkait satu sama lain, mengalir dan berlanjut, saling memperjelas dan mempertegas. Yang juga meminta praktisi mempelajari Yoga Sutra guna memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang praktik Yoga itu sendiri - secara berulang-ulang.

Pada ini merupakan manual-praktis yang tersaji dalam satu kesatuan bahasan komprehensif, menyeluruh, dan terpadu. Guna menunjang bahasan-bahasan, dengan segala kerendahan hati, di akhir buku ini saya menyajikan sebuah tulisan lepas sebagai apendiks.

Pada kesempatan yang bersahaja ini kita bersyukur dan bersujud dengan penuh hormat kepada Maharsi Patanjali, atas kemurahan hati beliau tanpa pamrih telah menyusun sistematika praktis serta melahirkan satu aliran filsafat (dharsana) agung yang tiada duanya, yang dapat mengantarkan manusia menuju kebebasan sejati. WHD NO. 509 Mei 2009.

www.parisada.org

Weda Sumber Ajaran Agama Hindu

Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.

Bahasa Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.
Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

Pembagian dan Isi Weda
Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.

Srutistu wedo wijneyo dharma
sastram tu wai smerth,
te sarrtheswamimamsye tab
hyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).

Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)

Weda khilo dharma mulam
smrti sile ca tad widam,
acarasca iwa sadhunam
atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).

Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).

Srutir wedah samakhyato
dharmasastram tu wai smrth,
te sarwatheswam imamsye
tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).

Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.

Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.
Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut:

SRUTI

Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:

Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.
Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.

Sama Weda Samhita.
Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.

Yajur Weda Samhita.
Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.

Atharwa Weda Samhita
Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.

Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.
Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.

SMERTI

Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.

Kelompok Wedangga:
Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:

(1). Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta rendah tekanan suara.

(2). Wyakarana (Tata Bahasa)
Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar.

(3). Chanda (Lagu)
Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.

(4). Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.

(5). Jyotisa (Astronomi)
Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan yadnya.

(6). Kalpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang berhubungan dengan ilmu arsitektur.


Kelompok Upaweda:
Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

(1). Itihasa
Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang disusun sekitar abad ke-8.

Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan keluarga Bharata dan menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti Itihasa (berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya") maka Mahabharata itu gambaran sejarah, yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran Hindu. Kitab Mahabharata meliputi 18 Parwa, yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.

Diantara parwa-parwa tersebut, terutama di dalam Bhismaparwa terdapatlah kitab Bhagavad Gita, yang amat masyur isinya adalah wejangan Sri Krsna kepada Arjuna tentang ajaran filsafat yang amat tinggi.

(2). Purana
Merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara, cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian hukum yang pernah di jalankan. Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.

(3) Arthasastra
Adalah jenis ilmu pemerintahan negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu, jenis ilmu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau pula Dandaniti. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan ke dalam jenis ini adalah kitab Usana, Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Ada beberapa Acarya terkenal di bidang Nitisastra adalah Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan Rsi Canakya.

(4) Ayur Weda
Adalah kitab yang menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Ayur Weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena demikian, maka luas lingkup ajaran yang dikodifikasikan di dalam Ayur Weda meliputi bidang yang amat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Menurut isinya, Ayur Weda meliptui delapan bidang ilmu, yaitu ilmu bedah, ilmu penyakit, ilmu obat-obatan, ilmu psikotherapy, ilmu pendiudikan anak-anak (ilmu jiwa anak), ilmu toksikologi, ilmu mujizat dan ilmu jiwa remaja.

Disamping Ayur Weda, ada pula kitab Caraka Samhita yang ditulis oleh Maharsi Punarwasu. Kitab inipun memuat delapan bidan ajaran (ilmu), yakni Ilmu pengobatan, Ilmu mengenai berbagai jens penyakit yang umum, ilmu pathologi, ilmu anatomi dan embriologi, ilmu diagnosis dan pragnosis, pokok-pokok ilmu therapy, Kalpasthana dan Siddhistana. Kitab yang sejenis pula dengan Ayurweda, adalah kitab Yogasara dan Yogasastra. Kitab ini ditulis oleh Bhagawan Nagaryuna. isinya memuat pokok-pokok ilmu yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya dalam pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.

(5) Gandharwaweda
Adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang ilmu seni. Ada beberapa buku penting yang termasuk Gandharwaweda ini adalah Natyasastra (yang meliputi Natyawedagama dan Dewadasasahasri), Rasarnawa, Rasaratnasamuscaya dan lain-lain.


Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa kelompok Weda Smerti meliptui banyak buku dan kodifikasinya menurut jenis bidang-bidang tertentu. Ditambah lagi kitab-kitab agama misalnya Saiwa Agama, Vaisnawa Agama dan Sakta Agama dan kitab-kitab Darsana yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta. Kedua terakhir ini termasuk golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad. Dengan uraian ini kiranya dapat diperkirakan betapa luasnya Weda itu, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalam ajaran Weda, yang perlu adalah disiplin ilmu, karena tiap ilmu akan menunjuk pada satu aspek dengan sumber-sumber yang pasti pula. Hal inilah yang perlu diperhatikan dan dihayati untuk dapat mengenal isi Weda secara sempurna.

Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
www.parisada.org

Membedah Mahabharata

ITIHASA DALAM STRUKTUR VEDA DAN STRATEGI
METODOLOGI PENGAJARAN VEDA1)
Oleh : I Ketut Donder2)




I. Itihasa adalah Sejarah bukan Cerita Fiktif
Itihasa secara etimilogi artinya sejarah, yaitu dari kata iti + ha + asa, iti = ’begini’ atau ’demikianlah’, ha = ’tentu’ atau ’pasti’, dan àsa = ’sudah terjadi’ atau ’adanya’. Jadi kata-kata ”begini tentu sudah terjadi” atau dalam formulasi lain ’demikianlah adanya’ atau ’demikianlah yang terjadi’, dengan jelas kalimat itu menunjukkan bahwa cerita dalam Itihasa adalah ’kisah’ atau ’fakta’ bukan ”fiktif”. Itihasa sebagai fakta atau kisah merupakan sejarah, inilah catatan terpenting yang perlu ditekankan dalam membaca Itihasa. Kebenaran Itihasa sebagai kisah atau sejarah pada dasarnya secara sadar dan tidak diakui oleh berbagai kalangan. Sebagai contoh seorang pencipta lagu menuangkan pengakuannya ini dalam satu syair lagu Indonesia di tahun 1970-an, yang berbunyi: ”kisah Mahabharat atau tragedi dari Yunani” . Hanya, sayangnya, karena perjalanan sang waktu ketika Itihasa melintasi bentangan benua dan samudera yang luas serta bentang sejarah waktu yang luas, banyak orang (termasuk intelektual Hindu) memandang Itihasa hanya sebuah deskripsi dogeng. Ini merupakan sikap dan perilaku yang unik dalam sistem keber-agama-an kita yang patut dipertanyakan dan dikaji.
Pandangan atau paham para intelektual Hindu yang menempatkan Itihasa sebagai dongeng secara langsung dan tidak langsung sesungguhnya telah merendahkan Veda, sebab Itihasa merupakan bagian integral dari Veda. Para intelektual Hindu Indonesia (Bali) yang menyatakan bahwa Itihasa sebuah dongeng, Arjuna sesungguhnya bukan orang India, tetapi Arjuna itu adalah orang Jawa karena itu di India tidak ada Gunung Arjuna, Gunung Arjuna hanya ada di Jawa Timur. Ada juga yang menyatakan bahwa Veda yang asli dan pertama kali diwahyukan di Bali. Hal merupakan ujian atas kebenaran sejarah kitab suci. Bersamaan pengakuan apologis bahwa Itihasa sebuah dongeng, Arjuna orang Jawa, saat ini juga sedang beredar buku yang dikarang oleh orang Barat bahwa ”asal mula umat manusia dan peradaban manusia adalah Nusantara”, demikian juga Bahasa Sanskerta yang merupakan bahasa tertua di dunia dinyatakan sebagai bahasa yang berasal dari Nusantara. Teori yang digunakan adalah teori Kutub Es mencair. Terlepas dari adanya anggapan Itihasa sebagai dongeng, Arjuna orang Jawa, Sanskerta berasal dari Nusantara, semua anggapan yang probabilistik itu perlu diteliti melalui prosedur epistemologi pengetahuan ilmiah yang benar. Itulah tantangan dari bedah buku ini, dan buku ini telah memberikan bukti-bukti dan metodologi komprehensif.
Sebagian umat Hindu memang sudah mengetahui, memahami, dan menghayati kemuliaan teks Itihasa sebagai bagian dari teks kitab suci yang perlu diproteksi dari pemikiran-pemikiran liar yang merendahkan nilai teks suci tersebut. Catatan ini penting sekali bagi kita umat Hindu. Karena dewasa ini teks Itihasa oleh masyarakat Nusantara lebih dipahami sebagai dongeng fiktif yang tidak tersangkut dengan peristiwa sejarah. Karena itu masyarakat Nusantara merasa bebas untuk membubuhi cerita-cerita dalam Itihasa untuk menambah bahan tertawaan ketika pentas atau pertunjukkan seni. Untuk memiliki bahan perbandingan kita juga perlu membaca buku-buku agama lainnya. Karena dalam agama lain banyak dongeng yang ada di dalamnya malah dianggap sebagai kisah nyata yang perlu dibela mati-matian oleh para intelektual agamanya dan oleh para penganutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu belajar banyak.

II. Kedudukan Itihasa dalam Sarasamuscaya
Secara khusus umat Hindu di Nusantara yang mengakui dan membanggakan kreativitas kearifan lokal, sangat penting membaca kitab Sarasamuscaya untuk mengetahui bagaimana kedudukan Itihasa dalam sistem pengetahuan Veda. Dalam beberapa sloka kitab Sarasamuscaya dengan tegas myatakan: ”
Kunëng kottaman Sang Hyang Bhàratakathà, ri denyan sira nitya pinakopajìwanà sang kawiwara, kadyanggansang prabhu sujanmàn pinakopajì-wananing wadwa angusir wibhawa. (Sarasamuscaya III)
Adapun keutamaan cerita-cerita Mahàbhàrata yang senantiasa menjadi sumber kehidupan para pujangga-pujangga utama adalah seperti misal seorang raja yang berbudi luhur, yang merupakan sumber perlindungan rakyat yang mengusahakan hidup sejahtera.
Apayàpan iking aji bhakrataathà, sakaning buddhi sang kawi, kadyangganing triloka an wijil sangkë pañcamahàbhùta. (Sarasamuscaya IV)
Adapun pustaka Mahàbhàrata ini lahir dari budi luhur sang pujangga, sebagai halnya dunia-tiga, yang terjadi dari lima unsur utama (hawa, angin, api, air dan tanah).

Tàtan hana aji ring bhuwana, tan pakàcraya iking byàsa wacana, kadyangganing ûarira tan hana, ya tan pakaûrayangàhàra (Sarasamuscaya V)
Tidak akan ada sastra di dunia, jika tidak ada bantuan dari ajaran Bhagawàn Byàsa, seperti halnya tubuh manusia tidak akan ada, jika tidak ada bantuan makanan.

Lawan waneh kottamanira, yan hana sira telas rumëngö rasaniking sang hyang aji, pisaningu juga sira ahyuna rumëngwa kathantara, tëka ring gita wenu wìóàdi, kadyangganing wwang rumëngö suûsabdaning kuwong, huwus rumësëp ri hati langëning swaranya, amangun harsaning citta, tan hana gantàni kahyuna rumëngwa rësning ûabdaning gagak (Sarasamuscaya VI).
Dan ada lagi keutamaannya yang lain: jika seseorang telah mendengarkan kesedapan rasa puitis sastra suci itu, sekali-kali ia tidak akan berkemauan untuk mendengarkan cerita-cerita lain, termasuk nyanyian-nyanyian rebab, seruling dan lain-lain semacam itu, sebagai misalnya orang yang sudah pernah mendengarkan keindahan suara burung kutilang, yang telah meresap ke dalam hatinya keindahan suara burung itu dan dapat membangkitkan kesenangan hatinya, tidak ada kemungkinannya ia akan berkemauan untuk mendengarkan kengerian suara burung gagak;

Mangkana ling Bhagawàn Wararucin panamaskara ring Bhagawàn Byàsa, nëhër umajarakën kottamaniking Bhàratakathà, iking inaranan Sàrasamuccaya, sara ngaraning wisesa, samuccaya papupulnya, nahan matangnyan Sàrasamuccaya ngaraniking sang Hyang Aji, damël Bhagawàn Wararuci, nihan piteket Bhagawàn Waiûampàyana ing Mahàràja Janamejaya, i këlanira sumaritaken ikang Bhàratakathà, yatiki witaning Sàrasamuccaya.
Demikianlah kata Bhagawàn Wararuci menghormati Bhagawàn Byàsa, serta lanjut mengutarakan keutamaan cerita mahàbhàrata yang dinamai Sàrasamuccaya; sara, artinya inti sari; samuccaya himpunan; demikianlah sebabnya maka sàrasamuccaya disebut sastra suci, karya Bhagawàn Wararuci; inilah yang dipergunakan pituah oleh Bhagawàn Waiûampàyana kepada Mahàràja Janamejaya pada waktu beliau menceritakan Mahàbhàrata. Inilah asal mula sàrasamuccaya.
Ndàn Sang Hyang Weda, paripùrnakena sira, makasàdhana sang hyang itihàsa, sang hyang puràna, apan atakut, sang hyang weda ring akëdik ajinya, ling nira, kamung hyang, haywa tiki umarà ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut (39)
Weda itu hendaklah dipelajari dengan sempurna dengan jalan mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya “wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang kepadaku”, demikian konon sabdanya, karena takut.
Kunang këngëtakena, sàsing kajar de sang hyang ûruti’ dharma ngaranika, sakàjar de sang hyang smrti kuneng’ dharma ta ngaranika, cistàcàra kunang, àcàranika sang ûiûta, dhrmata ngaranika, ûiûta ngaran sang hyang satyawàdì, sang àpta, sang patirthan, sang panadahan upadeûa sangksëpa ika katiga, dharma ngaranira. (40)
Maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Cruti, disebut dharma; semua yang diajarkan Smrti, pun dharma pula namanya itu; demikian pula tingkah laku sang cista, disebut juga dharma; cista artinya orang yang berkata jujur yang setia pada kata-katanya, orang yang dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat pensucian diri, orang yang memberikan ajaran-ajaran atau nasihat-nasihat; singkatnya ketiga-tiganya itu disebut dharma.
Catatan: 1. dharma ajaran cruti (Weda) biasa disebut “sanatana dharma” dharma yang kekal abadi, menjadi dasar agama bangsa Aria, yang sekarang terkenal dengan nama : Hindu Dharma. 2. Dharma dari Smrti (dharmasastra) yang mengatur kewajiban bangsa Aria, baik dalam bidang nasional, sosial, kekeluargaan, maupun kewajiban orang seorang. Dharmasastra adalah buatan orang, disesuaikan dengan keadaan dari jaman ke jaman : untuk satyayuga dibuat oleh Manu, untuk tritayuga oleh Yajnawalkya, untuk dvaparayuga oleh : Sankha dan Likhita, untuk kaliyuga oleh Parasara 3. Dharma Citacara: kelakuan atau perilaku, praktek (orang) arif, tulus hati dan suci; kesimpulannya : paham dharma, adalah luas.

III. Efek Penyebaran Itihasa dalam Tradisi Seni dan Pertunjukkan
Efik Ramayana dan Mahabharata sebagai kisah yang membangun Itihasa tidak saja terkenal di India, Sri Langka, dan Indonesia, bahkan di Arab. Dinasti raja-raja Arab yang bergelar Ramzes diduga merupakan penyebarluasan dinasti Rama di India. Bahkan dalam suatu pahatan Prasasti batu dalam bentuk relif Rama Shinta ditemukan di Arab. Di Indonesia terutama di Jawa dan Bali, kisah Ramayana dan Mahabharata amat sangat terkenal. Di Jawa wayang kulit semalam suntuk digemari oleh segala lapisan masyarakat baik para petani buta huruf hingga para dosen dan khiayi. Kisah Ramayana dan Mahabharata telah menjadi nafas kehidupan masyarakat Jawa. Hanya sayang sekali ceritanya banyak yang telah dicampur aduk dengan fiksi. Pada suatu malah dalang yang mengisahkan pertemuan antara Sri Arjuna dan Sunan Kali Jaga, lucu memang dan pantas ditertawai. Karena Arjuna hadir didunia sebelum Parikesit dinobatkan pada tahun 3018 SM dan Sunan Kali Jaga hidup pada tahun 1447 M detik-detik Majapahit runtuh, bisa bertemu, luar biasa sakti dalangnya. Hal-hal semacam inilah yang membuat citra sejarah dalam Itihasa semakin dikelabui alias dihapus.

IV. Kedudukan Itihasa dalam Struktur Pengetahuan Veda
Era globalisasi dan era demokrasi dewasa ini yang sedang dinikmati oleh umat manusia merupakan era kebebasan dan kemerdekaan berpikir. Seolah-olah setiap orang boleh berpikir dan berbuat apa saja di mana saja, batas-batas sakral dan propan semakin tidak jelas. Ngawuritas (alias asal ngomong) menjadi ciri dewasa ini. Berbagai istilah konyol muncul di tengah-tengah masyakarat intelektual, misalnya: kulkul saking kayu – gebug kukule sami ngiringan kahayun ’kentingan dari kayu – kentongan dipukul semua menyatukan pikiran’. Penjor = pring a lonjor ’bambu satu lonjor’, sate berasal dari kata Sanskerta sat yang artinya kebenaran, karena itu agama Hindu di Bali dilambangkan dengan lawar sate. Banten bahan untuk ngentenang ’banten adalah sarana untuk membangunkan kesadaran. Walaupun semua istilah tersebut tidak jelek, namun secara komprehensif semua istilah itu tidak dapat diacu sebagai struktur pengetahuan yang kebenaran.
Itihasa mempunyai kedudukan istimewa dalam struktur pengetahuan Veda, karena Itihasa dalam struktur Veda merupakan bagian dari Upanggaveda (Vedangga + Upaveda), sebagaimana dapat dilihat dalam Bagan Struktur Veda berikut. Yang dimaksud Vedangga adalah Sadvedangga sedangkan Upaveda adalah Itihasa. Karena itu buku Itihasa karya Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D., yang hendak mengembalikan Itihasa dalam porsi dan proporsinya yang benar dalam sistem pengetahuan Veda sangat patut dibaca oleh siapa saja termasuk oleh para tokoh umat Hindu yang telah menguasai publik. Buku ini memberi penjelasan yang meyakinkan bahwa Itihasa merupakan bagian dari Veda yang secara praktis metodologis menjadi alat atau sarana pengajaran Veda. Orang yang mau mengikuti petunjuk Itihasa maka sudah pasti akan secara otomatis melangkah ke jalan Veda. Karena kepraktisan dan kepragmatisannya itu, maka Itihasa mampu membimbing umat manusia melintasi pasang-surutnya zaman.
Kalimat syair dalam Ramayana yang berbunyi ”hana sira ratu dibya rengon, prasastra ring rat musuh ira pranata, Sang Dasarata namo tamuli. Kalimat lainnya: ”gunamanta Sang Dasarata, wruh sire ring Veda, bhakti ring Dewa, tar malupeng pitra puja, sih sira ring swagotra kabeh. Syair yang pertama merupakan salah satu sumber dharma, yaitu sila yang berarti perilaku orang bijak yang patut dijadikan semacam yurisprodensi dalam memutuskan suatu persoalan. Sebagaimana dinyatakan oleh kitab Dharmasastra bahwa sumber dharma adalah: sruti, smrti, sila, acara, dan atmanastusti. Syair yang kedua menjadi dasar konstruksi Pancasraddha Hindu (1) Widdhisraddha ’bakti ring dewa’, (2) Atmasraddha, (3) Karmaphala-sraddha ’sih sira ring swagotra kabeh’, (4) Samsara dan (5) Moksharaddha ’pitra puja’. Dan masih banyak sekali detil-detil ceritera dalam Itihasa ini yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia. Seandainya kita sepakat menyediakan waktu untuk membedah Itihasa ini sebagaimana kita mem-belah dan merecah seekor babi pada saat penampahan Galungan, maka kita akan mendapatkan segalanya dalam Itihasa. Dari hasil menampah Itihasa ini kita akan mampu membuat lawar Itihasa, urutan Itihasa, komoh Itihasa, krupuk Itihasa, brengkes polo Itihasa, rawoh Itihasa, dsb. Hanya sayangnya, kebanyakan dari kita hanya sangat serius ketika membelah dada celeng dan resah serta gelisah ketika kita membedah Itihasa.
Apa yang saya kutip merupakan seujung rambut yang dibelah satu juta dari keseluruhan isi Ramayana. Karena itu pendalaman yang benar terhadap Itihasa harus diupayakan. Buku karya Prof. Titib ini menuntun para pembaca untuk memperbaiki maind set dan anggapan umum masyarakat yang telah jauh melenceng dari keberadaan sejati Itihasa. Karena itu para guru, dosen, para intelektual, tokoh masyarakat sangat penting membaca buku Itihasa ini, kebetulan juga buku semacam ini yang berbahasa Indonesia juga belum ada. Inilah langkah berpikir komprehensif yang benar.
Untuk memahami segala sesuatu secara cepat, maka sketsa atau bagan sangat efektif untuk menuangkan suatu deskripsi yang panjang. Demikian pula untuk mengetahui kedudukan Itihasa dalam struktur pengetahuan Veda, maka kita menemukan beberapa bagan sruktur yang dibuat oleh beberapa orang, antara lain bagan yang dibuat oleh almarhum I Wayan Maswinara.
Dalam satu karya hasil terjemahan dari Narayana Upanisad yang diterjemahkan oleh almarhum Mas Winara terdapat lampiran Bagan Struktur Veda. Sebagai upaya ilmiah untuk menuangkan pikiran bagan tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Walaupun sesuai dengan perkembangan pemahaman bagan itu boleh dan dapat dikoreksi. Sebab ada beberapa kelemahan dari struktur tersebut, yaitu: meng-golongkan semua kitab selain Catur Veda sebagai Smrti. Karena itu bagan tersebut dapat dikonfirmasi dengan bagan yang dikonstruk oleh I Ketut Donder (1996, 2007).
V. Membedah Itihasa untuk Memperbaiki Pemahaman Umum
Tugas para intelektual Hindu mulai saat ini dan pada masa mendatang cukup berat. Karena persoalan yang mencoba menggoyahkan sistem pengetahuan Hindu tidak saja datang dari luar Hindu, tetapi dari dalam juga semakin banyak persoalan yang sampai saat ini belum ada upaya kelompok atau perorangan yang mencarikan solusinya. Ada pihak merasa sebagai agama paling besar, merasa agama paling sempurna, semua itu kita dengar dari luar, di pihak lain ada juga bahasa yang mirip, kita mendengar bahwa agama Bali sebagai agama paling besar, paling umum, paling tua. Semua itu merupakan tantangan luar-dalam dari generasi masa datang.
Kelemahan berargumentasi secara epistemologis kerap umat Hindu tidak mau berpolemik untuk menjawab pelecehan agama dari pihak lain. Para intelektual Hindu mutlak untuk mengasah keberanian intelektual melalui pendekatan ilmiah epistemologis. Para intelektual harus mau dan mampu menjadi pendekar intelektual dalam mengahadapi arogansi intelektual dari pihak manapun. Kadang-kadang arogansi dan hegemoni pihak lain muncul karena diketahui bahwa kalangan yang dilecehkan tidak akan memberi tanggapan terhadap upaya pelecehannya. Sebagai salah satu contoh : siapa yang tidak kenal dengan tokoh filosof Indonesia asal Jerman yaitu Prof. Franz Magnis Suseno. Pada suatu acara The Abrahamistic Religions Dialogue ’Dialog Agama-Agam Ibrahim’ pada tanggal 19 Februari 2009 di Yogyakarta. Prof. Franz mengatakan bahwa umat Yahudi, Katolik, Kristen, dan Islam sebagai agama Smistis harus meningkatkan rasa persaudaraan karena memang bersaudara. Lanjut Franz menyatakan, sesungguhnya kita juga bersaudara dengan umat lain seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, asal jangan kita disuruh percaya bahwa Hanoman itu Tuhan”. Mendengar celotehan orang Katolik nomor satu di Indonesia itu, saya selaku peserta yang diutus oleh Rektor IHDN dan Dekan Fakultas Brahma Widya IHDN menghadiri acara tersebut, maka spontan tergugah hati untuk menanggapi dialog mereka. Saya awali perkenalan dengan mengatakan bahwa nama saya I Ketut Donder cucu Hanoman, spontan sang intelektual itu tertunduk. Selanjutnya saya mengkoreksi konsep pengklaisifikasian agama atas agama langit dan agama bumi. Seraya saya mencela klasifikasi agama langit dan agama bumi tersebut sebagai klasifikasi tidak cerdas, tidak elok, dan puncak kebodohan teologis. Pada waktu itu hadir para ahli teologi, ahli agama, tokoh agama, mahasiswa asing, dsb. Saya bangga karena para peserta tidak berani menggugat celaan ketidak cerdasan para intelektual agama. Kita harus berani mengkoreksi pandangan umum yang keliru, menyimpang atau salah, koreksi kita mutlak menggunakan motode yang dibenarkan oleh sistem pengetahuan walau nasib akhirnya persis seperti nasib Komjen Susno Duaji. Walaupun demikian, ”lebih mulia dipenjara karena kebenaran daripada dipenjara karena kesalahan”. Keberanian semacam itu harus dipupuk sebagaimana nasihat Manawa Dharma Sastra:

Eko _ip vediv×m| y' VyvSyed( iÜjoÑam" - s ivDey" pro /moR naDanmuidto _yutW" --113--
eko ’pi vedavid dharmaý yaý vyavasyed dvijottamaá,
sa vijñeyaá paro dharmo nàjñànam udito ’yutaiá. (MDh. XII.113)

’Walaupun itu dinyatakan oleh seorang bràhmaóa yang ahli dalam Veda harus dianggap mempunyai kekuatan hukum dan bukan yang lain dinyatakan oleh jutaan orang-orang yang bodoh’.

Homa Yajna di Pura Majapahit, Kabupaten Jembrana










Homa Yajna yang dilaksanakan dalam rangka memohon keselamatan bagi masyarakat di Kabupaten Jembrana ini, berlangsung pada tanggal 14 April 2010. Homa Yajna ini di pimpin oleh 12 Sulinggih yang ada di Kabupaten Jembrana. Hadir dalam kegiatan ini masyarakat Hindu yang ada di Jembrana, dan masyarakat Hindu lainnya yang ada di Bali. Undangan yang hadir antara lain PHDI Kab. Jembrana, Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Jembrana, Bendesa, Majelis Madhya, Majelis Alit, dan Bupati yang diwakilkan oleh Asisten II. Bupati Jembrana dalam sambutannya mengatakan bahwa "Upacara ini hendaknya dilaksanakan secara kontinyu demi terjaganya keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Jembrana".
Bupati Jembrana juga mengapresiasi positif atas berdirinya Lembaga Peduli Umat Hindu (LPUH) Kabupaten Jembrana yang selanjutnya diharapkan banyak mengambil peran dalam membantu Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam membangun Sumber Daya Manusia Hindu yang ada di Kabupaten Jembrana. Upacara Homa Yajna ini menurut Ketua Samania Pura Majapahit I Nyoman Sutarma sudah pernah dilaksanakan setahun yang lalu (14 April 2009) dan akan secara kontinyu dilaksanakan setiap tanggal 14 April (posted by I Made Wiswaham)


















































Sinkronisasi Tattwa, Susila dan Upacara Dalam Pelaksanaan Yajna (Oleh I Made Titib)










Oleh : I Made Titib
Pada awal penciptaan, Penguasa (Prajapati) menciptakan manusia bersama dengan kurban suci sambil menyampaikan sabda, “Berbahagialah engkau dengan kurban suci yajna) ini sebab pelaksanaannya akan menganugerahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai pembebasan.”

Pelaksanaan Upacara Yajna (ritual) di Bali sudah dirasakan be- rat dan sering ada penafsiran, bahwa pelaksanaan upacara (ritual) itu sudahjauh mehyimpang dan hakekat yajna yang sebenarnya. Keluhan tentang sangat beratnya pelaksanaan upacara di Bali dirasakan oleh masyarakat awam, cendekiawan, dan bahkan beberapa pejabat yang memiliki kepekaan sosial di daerah ini. Sangat dirasakan kurangnya kesadaran untuk mengumpulkan dana (dana punia) untuk kepentingan dana sosial. Untuk itu diperlukan sinkronisasi pemahaman terhadap Tattwa, Susila, dan upacara tersebut.

Yajna sebagai filsafat dan landasan Upacara. Perlu dipahami, bahwa hakekat Yajna adalah pengorbanan yang tulus. Yajna tidak hanya dalam bentuk upacara (ritual) tetapi lebih banyak berdimensi sosial seperti pendidikan, kemanusiaan dan pemeliharaan lingkungan. Ada beberapa jenis Yajna yang mesti dipahami oleh umat Hindu. Yajna sebagai pengorbanan suci merupakan kewajiban sehari-hari.

Satyam, Sivam, Sundaram sebagai azas kehidupan. Satyam (kebenaran) kebajikan (Sivam) dan keharmonisanl keseimbangan (sundaram) yang tidak seimbang bakal menimbulkan ketimpangan kehidupan. Kebajikan (Sivam) tanpa kebenaran (satyam) adalah sia-sia. Keharmonisanlkeseimbangan (sundaram) tanpa kebenaran (satyam), dan kebajikan adalah jauh dan moralitas.

Kebahagiaan sejati memancar dan keseimbangan Satyam-Sivam-Sundaram. Dalam pelaksanaan Upacara Yajna (ritual) hendaknya pula dilandasi pemahaman terhadap ketiganya tersebut. Upacara Yajna (ritual) tanpa pemahaman yang benar terhadap pengertian, fungsi, dan makna dan upacara tersebut menjadikan ritual tersebut memberikan pahala yang maksimal. Pemahaman terhadap pelaksanaan upacara. Setiap bentuk Upacara Yajna mengandung pengertian, fungsi dan makna tertentu. Bentuk Upacara Yajna yang umum dikenal adalah Panca Yajna yang memiliki berbagai fungsi dan makna.

Satapatha Brahmana (XI.5 .6.1) yang merupakan kitab Brahmana dan Rgveda merumuskan sebagai berikut: Bhuta Yajna, yaitu persembahan rutin kepada para Bhuta. Manusa Yajna, pemberian nasi (makanan) untuk yang memerlukan. Pitra Yajna, yaitu persembahan kepada leluhur yang disebut svadha. Deva Yajna, persenthahan kepada para dewa yang disebut svaha. Brahma Yajna, yaitu belajar kitab suci Veda.

Manavadharmasastra III.70 yang merupakan kompedium hukum Hindu merumuskan sebagai berikut: Brahma Yajna, yaitu belajar dan mengajar dengan penuh keikhlasan. Pitra Yajna, yaitu menghaturkan Tarpana dan air suci kepada leluhur. Dewa Yajna, yaitu upacara menghaturkan api Homa (Agnihotra). Bhuta Yajna, menyelenggarakan Upacara Bali kepada para Bhuta. Nr (Nara) Yajna, yaitu menerima tamu dengan ramah-tamah.

Manavadharmasastra III.74 merumuskan dalam istilah yang sangat berbeda sebagai berikut: Ahuta, yaitu mengucapkan doa-doa suci berupa mantra Veda. Huta, yaitu persembahan berupa Api Homa (Agnihotra). Prahuta, Upacara Bali dipersembahkan di atas tanah kepada para Bhuta. Brahmahuta, yaitu memberikan penghormatan kepada para Brahmana. Prasita, yaitu persembahan Tarpana kepada para leluhur.

Manavadharmasastra III. 81 merumuskan. sebagai berikut:
Svadhyaya Yajna, yaitu mengabdi kepada guru suci, sembahyang kepada para Rsj dengan mempelajari mantra Veda. Deva Yajna, yaitu mempersembahkan biji-bijian yang dibakar (melalui Agnihotra).

Pitra Yajna, yaitu mempersembahkan upacara Sraddha kepada leluhur. Nr (Nara) Yajna, yaitu memberikan makanan kepada masyarakat. BhutaYajna, yaitu menghaturkan upacara Bali Karma (di Bali berubah menjadi Valikrama) kepada para Bhuta. Selanjutnya sumber-sumber berbahasa Jawa Kuno yang menguraikan rumusan tentang Panca Yajna antara lain:
Korawasrama dan Agastyaparwa yang masirig-masing merumuskan sebagai berikut:
Korawasrama: Dewa Yajna, yaitu persembahan sesajen dengan mengucapkan Sruti dan Stava pada waktu bulan purnama. Rsi Yajna, yaitu mempersembahkan punia, buahbuahan dan makanan, serta barang-barang yang tidak mudah rusak (Daksina) kepada para Rsi. Bhuta Yajna, yaitu mempersembahkan puja dan caru. Manusa Yajna,yaitu memberikan makanan kepada masyarakat. Pitra Yajna. yaitu mempersembahkan puja dan bhakti kepada para leluhur.

Agastyaparwa: Dewa Yajna, yaitu mempersembahkan minyak, biji-bijian kepada, Sivagni (dalam bentuk Agnihotra). Rsi Yajna, yaitu penghormatan kepada orang-orang bijaksana serta memiliki pengetahuan tentang hakekat penjelmaan sebagai makhluk hidup.
Pitra Yajna, yaitu upacara kematian agar roh mencapai alam Siva. Bhuta Yajna, yaitu upacara menyejahterakan tumbuh-tumbuhan, bumi dan bulan. Persembahan berupa caru (Tawur) dan Pancavalikrama. Manusa Yajna, yaitu memberikan makanan kepada masyarakat.
Dan kutipan tersebut di atas, maka rumusan PancaYajna menurut Agastyaparwa kiranya yang sangat dekat dengan pelaksanaan upacara Panca Yajna di Bali (Indonesia) walaupun C. Hooykaas (1975 : 251) mengatakan, bahwa khusus untuk Manusa Yajna telah terjadi penafsiran yang berbeda, yakni upacara yang berhubungan kelahiran (rites depassages). Di India, upacara yang berhubungan dengan kelahiran manusia (sejak kehamilan) disebut Sarira Samskara (upacara penyucian diri manusia /Rajbah Pandey, 1991 ).

Beberapa fungsi Upacara Yajna:
Selu. rerbahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Para Dewa. Roh suci Leluhur dan makhluk halus (gaib). Sebagai saranai/simbol untuk pemeliharaan alam semesta dan makhluk hidup ciptaan-Nya. Beberapa makna yang terkandung dari Upacara Yajna: Makna teologis, sebagai persembahan dan penggambaran keagungan-Nya; Makna edukatif (pendidikan), sebagai sarana perubahan perilaku. Makna sosiologis, sebagai wujud solidaritas (kebersamaan dalam kehidupan) dalam suka dan duka. Hakekat pelaksanaan upacara adalah perubahan perilaku. Pengorbanan diri, seperti halnya kutipan Bhagavadgita di atas yang sumbernya kitab suci Veda (Purusa Sukta/Rgveda X.90. 7-8). Memperoleh kebahagiaan yang sejati. Meningkatkan kesadaran untuk mengumpulkan Dana Sosial. Yajna merupakan salah satu perwujudan dari 7 jenis pelaksanaan Dharma (kebajikan) menurut Wrhaspati Tattwa (26) berupa: Sila (etika), Yajna (pengorbanan), Tapa (pengendalian diri), Dana (pemberian/dana punya), Pravrijya (berkeliling memperluas wawasan pengetahuan), Diksa (penyucian diri/dvijati), dan Yoga (senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa).

Dana (pemberian) merupakan salah satu perwujudan dari 7 jenis pelaksanaan Dharma di atas. Dimensi sosial dan Upacara Yajna sekiranya dianggarkan 5 sampai 10 persen dari anggaran pelaksaan ritual tersebut, tergantung kesepakatan komunitas sosialnya. Semakin besar dimensi sosial yang dilandasi kesadaran terhadap ajaran agama, mensikronisasikan pemahaman terhadap Tattwa, memancar dalam perilaku (susila) dan pelaksanaan ritual.
RADITYA 143 • Juni 2009